Thursday, October 18, 2018

ADIÓS




Berarak awan mendung menyapa dari kejauhan
Seiring dengan gemuruh tarian sang hujan
Berjalan tertatih dengan semua keputus-asaan
Berharap seseorang menopang dalam lamunan

Kisah sedih yang abadi dalam ingatan
Ketika tangis tak ingin lagi ditahan
Bait amarah pun tak dapat terucapkan
Saat kekasih hilang dari pelukan

Lelah hatiku merintih kesakitan
Lama waktu ku melupakan kebencian
Inikah akhir dari indahnya percintaan
Ataukah hanya sekilas ujian perasaan

Wahai Sang pemilik Keagungan
Bolehkah ku mengucap satu permintaan?
Balutlah lukaku dengan ketenangan
Temaniku dalam kelamnya kesunyian
Dekaplah aku agar tak lagi kupertanyakan makna kehidupan

Inilah akhir penantian
Saat hidup tak memberikan pilihan kecuali bertahan
Saat tak lagi kurasakan damainya kerinduan
Selamat tinggal bayangan, selamat tinggal kenangan.
Adiόs herida






Monday, October 15, 2018

JENUH


Jam di tangan kiri ku menunjukkan pukul 3, ketika semua kawan-kawan satu UKM ku mulai bersiap-siap meninggalkan villa tempat kami mengadakan rapat kerja tahunan.

“Bila, kamu ga siap-siap pulang? Mau pulang sama siapa?” seru Baim si ketua pelaksana memecah lamunanku.

“5 menit lagi ya Im, masih nunggu balesan sms nih.” jawabku sambil menunjukkan ponsel yang sedari tadi ada digenggamanku.

Okay, let me know if you need something ya. Kalau ga ada yang jemput, pulang sama aku aja ya Bil.” Baim meyakinkanku seakan dia tau apa yang aku risaukan, dan aku hanya menjawabnya dengan mengangguk tanda setuju.

Tidak ada satu hal negatif pun yang terlintas dibenakku, ketika Ryan tidak menjawab telepon ataupun membalas sms ku. Saat itu, aku hanya berpikir mungkin dia sedang sibuk menyiapkan acara penyambutan anggota baru minggu depan, karena kebetulan kami berada di UKM yang sama. Acara ini rutin diadakan tiap tahun, dan hal inilah yang sukses membuat aku dan Ryan sering bersitegang karena perbedaan pendapat. Tetapi kali ini aku merasakan sesuatu yang berbeda, entah apa.

Semua peserta rapat satu persatu mulai berpamitan pulang, hanya menyisakan 3 orang kawan masih menunggu keputusankku, termasuk Baim. Hingga tak terasa sudah 2 jam kami menunggu dan senja mulai menyapa, akhirnya aku putuskan untuk kembali pulang bersama dengan mereka.

“Im, ayo kita pulang aja. Kelihatannya dia ga bakal jemput aku. Lagian udah mendung, keburu ujan ntar” ucapku sambil menepuk bahu Baim.

“Okay, cuz gaes mulih (1) gaes” ajak Baim sambil menyalakan motor matic nya.

Sepanjang perjalanan dari Batu sampai Malang, airmata yang terbendung perlahan-lahan mulai tumpah. Tanpa aku sadari, Baim menatapku dari spion motor.

“Tutup aja kaca helm nya, menangislah” ucapannya yang sederhana semakin membuat tangisku luruh dan membaur dengan gerimis hujan.

Sesampainya di kos-kosan, aku mengucapkan terima kasih dan segera berlalu dari hadapan Baim. Bukan aku tak tahu diri, tetapi aku sangat malu karena membuat dia menunggu lama dan aku pun malu karena tidak mendengarkan nasihat nya kala itu.

“Kamu yakin mau jadian sama Ryan? Coba pikirin lagi lah, jangan grusa-grusu(2)” Baim memberiku saran saat aku menceritakan bahwa aku menyukai Ryan.

“Doain aja lah Im, elu mah, temen lagi kesengsem diledekin” balasku sambil menunjukkan raut muka kesal.

“Buka ngeledekin, tapi mending dipikir-pikir lagi” kali ini tangannya mengelus ubun-ubunku layaknya kakak yang sedang menasehati adiknya.

“Im, believe me, he’s the best one. Dia tuh ... .... ...” aku mulai menerocos menyebutkan banyak hal yang aku sukai dari Ryan, dan Baim hanya diam sambil memakan sebungkus pentol di genggamannya,  seolah-olah tidak peduli dengan bualanku.

Dan benar saja, sekarang aku mengerti kenapa saat itu Baim menyuruhku untuk memikirkan lagi keputusanku untuk berpacaran dengan Ryan.

Setelah selesai mandi dan sholat Maghrib, aku masuk ke kamar dan membalik papan pintu menjadi “DO NOT DISTURB”, berharap rekan-rekan kosku tidak akan mengganggu. Aku nyalakan radio dengan volume sedang dan mengalunlah lagu Big-Big world-nya Emilia Rydberg, sendu. Aku berniat untuk menyelesaikan laporan kegiatan hari ini dan beberapa file foto yang harus diupload ke sosmed UKM. Hingga ,

piip piip piip piip” tanda ada sms masuk di ponsel ku.

“Syg, maaf aku tadi ga bisa jemput, aku ketiduran” sms dari Ryan yang seketika itu juga membuatku mengumpat kepadanya untuk pertama kalinya.

Lalu aku putuskan untuk menelponnya.

“Ketiduran? What? I was waiting for you for 2 hours and you just simply said ketiduran?” emosiku memuncak, nada suaraku sudah seperti orang kesetanan.

“Iya maaf, aku ketiduran abis aku capek tadi abis nungguin orang benerin dekorasi buat acara besok” jawabnya santai.

“Oh gitu, yaudah deh aku maafin. Udah makan belom?” entah udah berapa kali maaf ini terucap untuknya, toh ternyata tidak membuatnya sadar betapa aku sangat mencintainya.


“Belom tapi lagi mager(3) nih salah satu trik jitu untuk membuatku bergegas ke kosnya sembari membawakan makanan kesukaannya, lalapan ayam.


“Okay, aku kesana sekarang. Mau dibawain yang biasanya kan?” ucapku lirih.

“Boleh, ga ngerepotin kan? Aku tunggu ya” jawabnya bersemangat.

Sesampainya di kos-kosan Ryan, aku mengirimkan sms kepadanya dan menunggu di teras depan ditemani oleh Bu Narti, Ibu Kos Ryan yang sangat ramah, perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik diusianya. Jika bertemu Bu Narti, banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari resep masakan, cara menjemur baju agar tetap rapi sampai cara agar bisa melihat hantu. Bu Narti-lah yang selalu menemaniku ketika sedang menunggu Ryan di kos-kosannya. Entah ketika dia ada di kamarnya atau ketika dia masih ada di kampus dan bilang kalau akan sampai di kos-kosan dalam waktu 10 menit.

Tidak beberapa lama setelah aku mengirim sms, Ryan keluar dengan membawa soft drink dingin kesukaanku.



Monggo(4) nak Nabila, Ibu masuk dulu, dingin sekali disini” ucap Bu Narti sambil berlalu masuk kedalam kediamannya.

Monggo Ibu, matur suwun(5)” aku berdiri dengan sedikit menunduk.

“Udah lama? Aku mandi dulu tadi, jadi agak lama” sambutnya sambil duduk disampingku.

“Nih lalapan ayam kesukaanmu, lengkap dengan tambahan timun dan sambalnya” aku ulurkan bungkusan nasi dan krupuk kepadanya.

“Ryan, ini lalapan ayam terakhir yang bisa aku beliin buat kamu, maaf.” suaraku serak menahan tangis.
“Maksudnya apa sayang? Kamu marah?” Ryan meraih tangaku sambil menunjukkan raut wajah kaget.
“Bukan marah, tetapi jenuh. Aku lelah berpura-pura baik-baik saja disaat semuanya kacau. I’m done with you” aku tertunduk lemas begitupun dengan Ryan.

== TO BE CONTINUED ==


Catatan kaki
(1) Pulang, dalam bahasa Jawa
(2) Terburu-buru, dalam bahawa Jawa
(3) Malas Bergerak
(4) Salam, dalam bahasa Jawa
(5) Terima kasih, dalam bahasa Jawa

Friday, October 5, 2018

P.i.T.P


Dear You,

It’s been some times after our decision to “hands up” upon our relationship.
How are you dude? Everything's fine?

Hardly any news from you.
I don’t know where you are, even if i found a clue.
But deeply in my heart, I always wishes that someday I can meet you accidentally.
Yes accidentally, because I don’t want to meet you personally.

I feel like we have a lot of interpretation that not shared yet.
Make me curious, mad, frustrated and desperate.
We broke just in a few days and hopeless to find a way. 
I lost my entire world when you smile and say goodbye.

Don’t you know that you are the reason I hate a rain in the night.
That time, I missed and hated you on my sight.
I want to die, but I saw that my life still have a light.

I decided, I’m done with you, I moved on.
I realize that I have to let you gone.
But lately you came into my dream, though I never think about you.
Friends say that is a sign that you missed me, seriously? You? *cynic*

Well, at least I post this words.
Wishes someday you will recognize and willing to see the truth, between us.

-cheers-

ADIÓS

Berarak awan mendung menyapa dari kejauhan Seiring dengan gemuruh tarian sang hujan Berjalan tertatih dengan semua keputus-asaa...