Jam di tangan
kiri ku menunjukkan pukul 3, ketika semua kawan-kawan satu UKM ku mulai bersiap-siap
meninggalkan villa tempat kami mengadakan rapat kerja tahunan.
“Bila, kamu ga siap-siap pulang? Mau pulang sama siapa?” seru Baim si ketua
pelaksana memecah lamunanku.
“5 menit lagi ya Im, masih nunggu
balesan sms nih.” jawabku sambil
menunjukkan ponsel yang sedari tadi ada digenggamanku.
“Okay, let me know if you need something ya. Kalau ga ada yang jemput, pulang sama aku aja
ya Bil.” Baim meyakinkanku seakan dia tau apa yang aku risaukan, dan aku hanya
menjawabnya dengan mengangguk tanda setuju.
Tidak ada satu
hal negatif pun yang terlintas dibenakku, ketika Ryan tidak menjawab telepon
ataupun membalas sms ku. Saat itu, aku hanya berpikir mungkin dia sedang sibuk
menyiapkan acara penyambutan anggota baru minggu depan, karena kebetulan kami
berada di UKM yang sama. Acara ini rutin diadakan tiap tahun, dan hal inilah
yang sukses membuat aku dan Ryan sering bersitegang karena perbedaan pendapat.
Tetapi kali ini aku merasakan sesuatu yang berbeda, entah apa.
Semua peserta
rapat satu persatu mulai berpamitan pulang, hanya menyisakan 3 orang kawan
masih menunggu keputusankku, termasuk Baim. Hingga tak terasa sudah 2 jam kami
menunggu dan senja mulai menyapa, akhirnya aku putuskan untuk kembali pulang bersama
dengan mereka.
“Im, ayo kita pulang aja.
Kelihatannya dia ga bakal jemput aku. Lagian udah mendung, keburu ujan ntar” ucapku
sambil menepuk bahu Baim.
“Okay, cuz gaes mulih (1) gaes” ajak Baim sambil
menyalakan motor matic nya.
Sepanjang
perjalanan dari Batu sampai Malang, airmata yang terbendung perlahan-lahan
mulai tumpah. Tanpa aku sadari, Baim menatapku dari spion motor.
“Tutup aja kaca helm nya,
menangislah” ucapannya yang sederhana semakin membuat tangisku luruh dan
membaur dengan gerimis hujan.
Sesampainya di
kos-kosan, aku mengucapkan terima kasih dan segera berlalu dari hadapan Baim.
Bukan aku tak tahu diri, tetapi aku sangat malu karena membuat dia menunggu
lama dan aku pun malu karena tidak mendengarkan nasihat nya kala itu.
“Kamu yakin mau jadian sama Ryan?
Coba pikirin lagi lah, jangan grusa-grusu(2)”
Baim memberiku saran saat aku menceritakan bahwa aku menyukai Ryan.
“Doain aja lah Im, elu mah, temen lagi kesengsem diledekin”
balasku sambil menunjukkan raut muka kesal.
“Buka ngeledekin, tapi mending
dipikir-pikir lagi” kali ini tangannya mengelus ubun-ubunku layaknya kakak yang
sedang menasehati adiknya.
“Im, believe me, he’s the best
one. Dia tuh ... .... ...” aku mulai menerocos menyebutkan banyak hal yang aku
sukai dari Ryan, dan Baim hanya diam sambil memakan sebungkus pentol di
genggamannya, seolah-olah tidak peduli
dengan bualanku.
Dan benar saja, sekarang aku mengerti kenapa saat
itu Baim menyuruhku untuk memikirkan lagi keputusanku untuk berpacaran dengan
Ryan.
Setelah
selesai mandi dan sholat Maghrib, aku masuk ke kamar dan membalik papan pintu
menjadi “DO NOT DISTURB”, berharap rekan-rekan
kosku tidak akan mengganggu. Aku nyalakan radio dengan volume sedang dan
mengalunlah lagu Big-Big world-nya Emilia Rydberg, sendu. Aku berniat untuk
menyelesaikan laporan kegiatan hari ini dan beberapa file foto yang harus
diupload ke sosmed UKM. Hingga ,
“piip piip piip piip” tanda ada sms masuk di ponsel ku.
“Syg, maaf aku tadi ga bisa
jemput, aku ketiduran” sms dari Ryan yang seketika itu juga membuatku mengumpat
kepadanya untuk pertama kalinya.
Lalu aku putuskan untuk
menelponnya.
“Ketiduran? What? I was waiting
for you for 2 hours and you just simply said ketiduran?” emosiku memuncak, nada
suaraku sudah seperti orang kesetanan.
“Iya maaf, aku ketiduran abis aku
capek tadi abis nungguin orang benerin dekorasi buat acara besok” jawabnya santai.
“Oh gitu, yaudah deh aku maafin.
Udah makan belom?” entah udah berapa kali maaf ini terucap untuknya, toh
ternyata tidak membuatnya sadar betapa aku sangat mencintainya.
“Belom
tapi lagi mager(3) nih” salah
satu trik jitu untuk membuatku bergegas ke kosnya sembari membawakan makanan
kesukaannya, lalapan ayam.
“Okay, aku kesana sekarang. Mau
dibawain yang biasanya kan?” ucapku lirih.
“Boleh, ga ngerepotin kan? Aku
tunggu ya” jawabnya bersemangat.
Sesampainya di
kos-kosan Ryan, aku mengirimkan sms kepadanya dan menunggu di teras depan
ditemani oleh Bu Narti, Ibu Kos Ryan yang sangat ramah, perempuan paruh baya
yang masih terlihat cantik diusianya. Jika bertemu Bu Narti, banyak hal yang
kami bicarakan, mulai dari resep masakan, cara menjemur baju agar tetap rapi
sampai cara agar bisa melihat hantu. Bu Narti-lah yang selalu menemaniku ketika
sedang menunggu Ryan di kos-kosannya. Entah ketika dia ada di kamarnya atau
ketika dia masih ada di kampus dan bilang kalau akan sampai di kos-kosan dalam
waktu 10 menit.
Tidak beberapa
lama setelah aku mengirim sms, Ryan keluar dengan membawa soft drink dingin kesukaanku.
“Monggo(4) nak Nabila, Ibu masuk dulu, dingin sekali
disini” ucap Bu Narti sambil berlalu masuk kedalam kediamannya.
“Monggo Ibu, matur suwun(5)”
aku berdiri dengan sedikit menunduk.
“Udah lama? Aku mandi dulu tadi,
jadi agak lama” sambutnya sambil duduk disampingku.
“Nih lalapan ayam kesukaanmu,
lengkap dengan tambahan timun dan sambalnya” aku ulurkan bungkusan nasi dan
krupuk kepadanya.
“Ryan, ini lalapan ayam terakhir yang bisa aku beliin buat kamu, maaf.” suaraku serak menahan tangis.
“Maksudnya apa sayang? Kamu
marah?” Ryan meraih tangaku sambil menunjukkan raut wajah kaget.
“Bukan marah, tetapi jenuh. Aku lelah
berpura-pura baik-baik saja disaat semuanya kacau. I’m done with you” aku tertunduk lemas begitupun dengan Ryan.
== TO BE CONTINUED ==
Catatan kaki :
(1) Pulang, dalam bahasa Jawa
(2) Terburu-buru, dalam bahawa Jawa
(3) Malas Bergerak
(4) Salam, dalam bahasa Jawa
(5) Terima kasih, dalam bahasa Jawa